KATA YANG TERTINGGAL
Selamat malam,
Maafkan aku meski aku tak tahu salahku.
Semoga di lautan hatimu ada aku.
Aku menyukaimu dan aku tak berharap banyak.
Semoga Tuhan mengabulkan permintaanmu.
Bersabarlah sedikit.
Maaf jika selama ini aku menganggu Mas.
Semoga kita dipertemukan dalam kedewasaan di hari yang lain.
Malam itu di hari yang tak ingin aku ingat sepanjang hidupku. Ku kira itu hanya gertakan dari gadis itu. gadis bodoh yang selalu menyalahkan dirinya atas kesalahan yang tak ada. gadis yang selalu meminta maaf untuk kesalahan yang aku buat. aku lupa tahun itu kapan, bulan apa dan tanggal berapa. Aku tak ambil pusing. Aku merayakan tahun baru itu dengan teman-temanku seolah SMS itu tiada artinya. Aku menerimanya dan aku langsung memasukan kembali HPku. Namun sebelum itu ia menelponku dan aku mematikannya. Memuakkan bagiku.
Aku menyalakan rokokku dan tertawa dengan temanku. Sedangkan hujan tengah sedikit mengirit airnya. Taiad bunyinya dan hanya ada tetesannya. Aku tak memperdulikan dirinya sedikitpun. Ia akan selalu sms aku setiap pagi meski aku jarang sekali membalasnya. Ketika ia bangun ia akan melakukannya, membangunkan aku dengan kata yang manis. Ia akan selalu melakukannya. Perhatiannya adalah makanan keseharianku namun itu tak ku anggap lagi. Aku tak ambil pusing, gadis tolol yang mudah kumanfaatkan.
Tiga orang temanku tahu aku. Mereka hanya diam karena mereka sadar kalau gadis itu adalah kesetku. Tempat yang mungkin tak akan lari jauh dari pintu rumah. Mereka hanya menanggapinya sinis, lalu kembali lagi menenguk soda.
“kamu yakin ngak balas dia?” Tanya sahabatku sambil memandangku yang diam tak ambil pusing.
“udahlah nanti kalau aku telpon… atau sms ia juga akan berubah pikiran.”
Lalu kami terdiam sejenak dan memandangi keramaian café. Tak pernah sedikitpun aku memikirkan perasaannya, aku hanya memikirkan perasaanku dan karierku. Aku tamak dan serakah. Tapi aku tak menyadarinya kala itu.
“kamu yakin?” kata Anton.
“yakin.” Kataku sambil menghisap rokok.
“kalian tengkar karena ia ngak mau nelpon kau. Padahal kamu pingin denger suaranya kan? mungkin kamu dan dia sama-sama sibuk. Kamu cinta dengannya…”
“males…ngomongin dia.”
Aku lalu berdiri dan meninggalkan teman-temanku. Aku berjalan dengan mengangkat payung menelusuri jalanan yang basah dengan air mata bumi. Aku menuju kamar kosku dengan santainya dan ku lihat ibu kosku tengah menonton sinetron. Dia sempat menyapaku dan aku langsung menuju kamarku. Ku baringkan tubuhku seolah benar-benar tak terjadi apapun.
@@
Esok paginya saat aku membuka HP biasanya ada sms darinya yang berisi sapaan pagi namun tak ada. aku tak ambil pusing kala itu. mungkin hanya sehari dan aku menjaga gengsiku. Aku tahu kalau aku tak akan mati tanpanya meski hanya sehari. Aku tak memungkiri kalau sebenarnya aku merindukannya. Sepanjang hari di kantor aku menatap HPku namun ia juga tak melakukannya. Bagaimana ini bisa ia lakukan? Mungkin kali ini ia ingin mengertakku dan aku juga tak takut sama sekali. Pikirku…
@@
Esok paginya lagi itu terjadi dan kali ini terus terjadi. aku tak terkontrol dan aku ingin sekali menyentuh HPku untuk menelpon atau mungkin sms. Jika menelpon maka aku mungkin termakan gertakannya. Maka aku tetap jaga kewibawaanku dengan egoku padanya. aku hanya mengirimkan sms,
Assm wr. Gimana kabarnya say?
Baik-baik bukan?
Sekarang lagi ngapain?
Aku kangen ama nasehatnya dari kamu, tahun baruan mau kemana?
Refresing ama cowoknya ya? Aduh… aku ditinggalin.
Ku kira ia akan membalasnya dan aku tetap menunggu. Mungkin inilah yang dirasakannya saat menunggu sms dariku. Aku melihat jam di dinding kantor untuk mengusir waktu yang datangnya begitu lambat. Mempercepatlah wahai waktu. Datangkan untukku sebuah jawaban dari kerinduanku atas dirinya. Aku menginginkannya kali ini. sungguh…
Aku mulai mengulur masa itu dan mengukur rasaku yang entah saat itu dimana. Tiba-tiba aku ketakutan kehilangan akan dirinya. Aku teringat nasehatnya kalau saat kita memainkan kartu kita sama-sama tak tahu kartu apa yang dipegang musuh dan yang jelas kartu itu adalah kartu gertakan. Dan ia juga mengatakan kadang kala ada salah satu dari pemain kartu yang muak menghadapi gertakan. Maka ia keluarkan AS untuk mengakhiri perlawanan King Dan Quen. Mungkinkah ia tengah muak denganku dan ingin mengakhiri gertakannya. Tidak aku tak yakin ia akan melakukan itu.
Satu jam berikutnya,
Aku menunggunya, kepanikan itu datang. dia menghilang…. Dan kalimat itu mengalun diingatanku.
Satu jam lima belas menit,
Aku tertatih, Nampak jenuh dan pikiranku menjauhi aku. Aku takut dan kali ini aku benar-benar panic namun aku menyembunyikannya.
Untuk pertama kalinya aku menyingkapkan egoku, aku mungkin harus mengeluarkan jurus kegombalan laki-laki.
Sampai kapanpun aku ngak bisa melupakan dirimu
karena selalu memberi nasehat dan perhatian ke aku.
Pacar ku yang dulu aja belum tentu kayak kamu.
Semoga kamu tak melupakan aku.
Namun tak jua ada jawaban. Amboi… aku benar-benar gila kali ini. ini mungkin kegilaan yang di rasakannya. Aku terdiam dan aku lagi-lagi menanggalkan semua pakaian egoku. Aku telanjang dengan kepasrahan. Memang hanya dialah yang mengerti aku, dialah anugerah-Mu yang aku tinggalkan. Aku menyesali itu. namun apa mau aku kata. Inilah yang terjadi.
Aku sadar tentang keberadaannya dan aku tak sadar kalau kesadaranku telah terlambat kala itu. aku hanya terdiam dan kali ini aku benar-benar telanjang dan mengambil HPku. Ku pencet nomernya dan lagi-lagi operator itu,
“maaf nomer yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.”
“sial!” kataku sambil membantingkan tubuhku di kursi kerjaku.
Temanku Anton menatapku lagi. Ia tersenyum memandangku dan aku menatap wajah sindiran itu,
“kau kenapa? Kangen.. katanya kemaren….”
“sudahlah!” ku hentikan kalimat yang jelas-jelas benar adanya.
Aku berdiri dan meninggalkannya. Ia mengikuti langkahku dan mendampingi aku yang menyalahkan rokok di lobi.
Asap itu terbang merayap menjauhi tubuhku. Aku melihatnya tanpa makna dan juga tanpa mimic. Temanku tak merokok ia hanya menatapku. Ia tahu kala aku benar-benar terpuruk tanpa gadis itu. bagiku ia mentari yang menghangatkanku namun aku tak memperdulikannya. Itu yang aku rasakan… dan kini aku kecewa dengan apa yang aku lakukan.
“minta maaflah !”
“AAPA?”
Aku menatap temanku dengan heran. Dia hanya tersenyum, karena ia tahu kalau aku akan melakukannya. Ia mungkin telah menduganya.
“bagaimana caranya… lewat sms… telpon atau…” lalu da terdiam dan melanjutkan kalimatnya
“datangi saja dia.”
Aku lalu memainkan jariku dan kembali menatap temanku. Diam dan memohon diri akan petuahnya,
“apa ia akan menerimaku?”
“entahlah.. tapi apa salahnya di coba. Kadang wanita butuh umpan.”
Aku lalu terdiam dan egoku mulai meninggi. Bagaimana mungkin aku, aku mendatangi wanita dimana harga diriku sebagai laki-laki. Bukankah kaum wanita jumlahnya lebih banyak kini, jadinya mestinya mereka yang harus takut. Takut tak mendapatkan pasangan.
“sudah….sudah lah…”
“kau akan menyesal.” Kata Anton sambil meninggalkan aku.
Dua bulan kemudian, aku mencarinya namun ia tak ada. ku tunggu ia dan dia tak datang-datang.
Aku menyesal,
Maaf.. mungkin itulah kata yang ia lewatkan. Mungkin pula ia melakukannya dan kata maaf adalah kata yang aku lewatkan. Tapi apakah ia akan memaafkanku. Jika aku melihat sms terakhirnya ia masih memberiku harapan. Dipertemukan dalam kedewasaan di hari yang lain, dia masih menungguku. Aku tahu itu, ia tak bisa pergi jauh dariku. Aku menunggunya, hanya itu yang mampu ku lakukan. Ia tak menyisahkan sedikitpun jejak untuk aku telusuri.
@@
Rasa itu membekas sangat lama. Aku kehilangan dia sungguh dan kini aku sadari bahwa dari sekian banyak kesalahan yang aku lakukan. Hanya kesalahan terhadap dirinya yang tak mampu aku hapuskan. Dari banyak wanita yang datang, dialah yang tak mampu aku lupakan dan dari cinta yang singgah dialah yang tak mampu pergi dari relung sanubariku. Aku kehilangan dia, meski lama namun aku selalu merasa kehilangan dan kehilangan, lagi dan lagi….
Aku menyesal… dan aku menyadari kebenaran ucapan temanku itu terbukti. Sesalku hanya aku rangkai dalam doa atas keputus asaanku mencari jejaknya. Doaku padaNya hanyalah satu. Pertemukan kami kembali. Itulah yang aku panjatkan tiap kali aku teringat akan dirinya. Hingga suatu masa dia tahun ketiga penantianku, doaku terkabulkan.
Saat itu aku tengah berjalan menuju taman. Aku ingin mengusir kesedihanku yang sangat. Aku berjalan menikmati indahnya hijau dan birunya langit. Aku tengah memperhatikan semuanya hanya untuk melepas lelah. Mata yang teduh dan juga senyuman yang manis itu menatapku. Seolah semuanya baik-baik saja. Ia tak heran denganku namun anganku sungguh melambung dibuatnya. Aku mendatanginya… dengan setengah berlari. Kakiku ringan dan aku terasa terbang mendekatinya.
Dia tetap diam dan tak berkata apapun. Ia Nampak cantik dan aku jatuh cinta dengannya untuk kesekian kalinya. ia memandangku dengan mimic yang datar,
“hai… apa kabar Herman?”
Aku menatapnya dengan lekat-lekat dan mulutku serambi bergetar. “ aku baik-baik saja… kau…?”
“tak pernah sebaik ini sebelumnya.”
Dia lalu mengajakku duduk dibangku taman. Rambutnya yang panjang melambai-lambai dan aku ingin mengelusnya. Aku mengangkat tanganku tapi itu aku hentikan saat menatapku.
“sudah menemukan yang baru?”
Aku hanya menggelengkan kepala. Karena bagaimana mungkin aku bisa menemukan yang baru, jika hatiku tertutup untuk yang lainnya. dia membalas dengan senyuman manisnya.
“rasanya aneh… kenapa aku merasa sangat senang hari ini.”
“apa? Kau senang?” aku mulai melambungkan asahku.
“iya, tak pernah seperti ini. rasanya akan selesai.”
“apanya?” tanyaku lagi semakin bingung bercampur takjub.
“entahlah.”
Dia lalu terdiam beberapa saat. dia menunggu aku bicara dan akhirnya kesempatan itu aku gunakan pula. Aku mulai dengan pertanyaan wajar lainnya.
“kenapa kau meninggalkan aku?”
“karena harusnya sejak lama itu yang aku lakukan. Lebih baik sakit sekali karena cinta dari pada sakit berkali-kali karenanya.”
“maafkan aku, mungkin harusnya itu yang aku lakukan sejak dahulu.”
Dia hanya terdiam, lalu ia menatapku. Matanya bercahaya dan ia sunguhkan seyuman padaku. manis dan itu menghapus lukaku yang dalam.
“aku sudah memaafkannya dan harusnya Herman juga memaafkan diri Herman.”
Aku kaget bukan main dengan ucapannya. Ia lalu merangkulku dan mendaratkan senyuman di keningku.
“maafkan aku juga.”
“tidak. Kau tak salah… akulah yang salah.”
Ia lalu melepas rangkulannya, tersenyum dan menatapku. Lalu ia kembali menatap ke arah taman. Aku memberanikan diri menyentuh tangannya yang halus dan lembut bak mentega. Amboy… hatiku senang tiada tandingannya. Ku kira, mukanya akan memerah namun ternyata tidak. Ia balik menatapku dengan tatapan datarnya.
“bisahkah.. kita ulangi lagi?”
Dia lalu terdiam dan tersenyum. Itu jawaban yang memungkinnya. Ternyata ia tak berubah. Ia selalu luluh denganku. Ini mungkin ada bukti bahwa cintaku selalu menang di hati dan logikanya. Akulah tahta yang ada di sanubarinya.
“aku terlalu sakit dengan semuanya. Aku selalu salah dan tak berarti bagimu. Ada luka bersemai di hatiku dan ku kira dengan tetap bersamamu setidaknya aku akan bahagia. Tapi… aku salah Herman.”
“maafkan aku sungguh. Aku telah melakukan banyak kesalahan padamu.” aku meremas tangannya.
“maaf memang kata yang tertinggal di masa lalu kita. Aku tidak bisa…. Itulah kata yang kumiliki kini” Ia menutup matanya saat ia katakan itu. ia takut menatapku, ia masih berbaik hati padaku.
“appa??” aku terkaget dan ku lepas tanganku.
Dia menarik tangannya dan menaruhnya di dada.
“ku kira dengan mencintaimu aku akan bahagia meski disakiti. Kau sakiti aku dan aku selalu mengalah… ibarat memainkan kartukau mengertakku dan aku terintimidasi. Dan disuatu titik aku ingin mengakhiri semuanya. Maka aku keluarkan As.”
“maafkan aku.. ku mohon berikanlah kesempatan itu?”
Dia lalu menarik nafas panjang dan berkata,” sudah ku berikan berkali-kali.”
“benarkah… apakah kau mau….” Sebelum aku mengucapkan kalimat itu ia menatapku,
“dimasa lalu ku berikan itu namun kau tak mau tahu.”
“maaf……”
“aku sudah melakukannya meski kata maaf itu selalu tertinggal. Sudah berakhir….. inilah kenyataannya. Jika kau mencintaiku maka kau akan membiarkan aku bahagia.”
“tidakkk…”
“hiduplah bahagia… doaku menyertai kebahagiaanmu.” Ia lalu menepuk punggungku dengan halus.
“tunggu….”
Dia lalu meninggalkan aku bak angin. Aku bingung… tubuhku kaku dan aku baru rasakan kematian yang maha dasyat. Dia berjalan dengan anggunnya meninggalkan aku. Tubuhnya yang indah itu meliuk-liuk dengan gaun putihnya. Aku sungguh ingin mengejarnya namun saat aku berdiri ku lihat sesosok yang malah memenggal kepalaku. Seorang laki-laki dengan merentangkan tangannya menyambut dia. Dia sempat memandangku dan menggelengkan kepala saat aku akan menghampirinya. Senyuman itu melarangku untuk bertingkah bodoh dan menyadari kesalahanku. Dan yang paling aku sukai, ia memberikan mimic lembut salam perpisahan dan meminta restu padaku. aku hanya bisa mengedipkan mataku sebagai ganti dari semua bahasa tubuhku. Kami mengucapkan selamat berpisah hanya lewat mata. Ini mungkin kebahagiaan yang ia tunjukan padaku. itulah cinta yang harusnya aku berikan padanya.
Aku terdiam, mematung dan ini adalah kematian kali kedua setelah kehidupanku. Hanya empat menit dua puluh empat detik aku hidup dan kini ku nikmati kematian yang lama.
Maaf adalah kata yang tertinggal. Aku sesali itu dan benar kata orang lain sesal tak akan mengembalikan cintaku yang telah hilang. Dan kau tahu teman, aku melewatkannya dan kini aku dalam keterpurukan. Aku tak melihat pancarannnya ketika ia ada dan kini ku tahu itu ketika ia sudah tak ada. beruntung sekali laki-laki itu. dia beruntung karena melihat pancaran itu….. beruntung….
the end