Selamat Datang di kawasan anker arief aprianto

Senin, 22 Februari 2010

cerpen

Aku adalah sang penguasa taman. Hanya aku yang berkuasa diantara dedaunan yang menghijau, kekuningan dan juga daun-daun mati yang mengering. Aku selalu berjalan dengan pongahnya menyusuri kebuh. Kebun ini adalah rumahku dan semua benda mati yang ada adalah keluargaku. Kadang kala aku berhenti, untuk melihat siapakah yang baru san siapakah yang menghilang. Seperti matahari, bulan, bintang dan seisi yang mampu aku lihat kapan datang dan juga pergi.
Kali ini mentari bersinar celah. Aku berjalan di pinggiran taman dengan memperhatikan siapa yang datang dan juga pergi. Aku memperhatikan semua aktivitas yang ada di balik cendela barok itu. mataku terbelalak, terbuka dan juga takjub melihat mahluk ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Aku mengintipnya dan melihat dia yang terdiam memandangi bunga gardenia putih yang ada di dekat cendela.
Lalu seorang wanita setengah baya masuk. Keduanya saling berpelukan dan saling bercanda. Dia tersenyum begitu ringan dan juga manis sekali. Aku iri dengan wanita itu, aku juga ingin dipeluknya dan juga berbagi senyuman itu. Wanita setengah baya itu berkali-kali ia panggil dengan sebutan mama.
“mama….mama…. tahukah kenapa aku senang pagi ini?” kata gadis itu sambil menatapku, mungkin bukan tapi bunga gardenia putih yang ia tatap.
“ mama tidak tahu sayang, ada apa?” Tanya mamanya sambil merapikan selimut anaknya yang tak rapi.
Dia tersenyum menatap mamanya dan dia menatap ke arahku. Matanya mengatakan kalau akulah yang ia maksud. Ia tahu apa yang ada di mataku, sebuah cinta ia sajikan di matanya dan busur panah cinta ia luncurkan lewat senyuman itu.
“dia mama.” Tangan kanannya menunjukku yang terpaku dengan pandanganku.
Mamanya menoleh padaku, lalu ia tersenyum. Ia berjalan menujuku. Oh… jantungku bergetar dengan kencang. Dak..dik…duk… rasanya aku terbang ke awang-awang. Melambung tinggi. Tapi tiba-tiba.. pyarrrr itu mungkin bunyi hatiku yang pecah. Ketika mamanya tak membukakan cendela malah hanya mengambil vas bunga itu.
“bunga ini memang indah.”
“iya… mam….” Katanya sambil terus menatapku.
“mama akan taruh di dekatmu.”
“terima kasih.”
“sama-sama, Maria….” Kata mamanya sambil mencium keningnya lalu meninggalkannya sendirian.
Aku menatapnya begitu lama. Ia tak seperti pasien-pasien lainnya yang memiliki banyak teman atau setidaknya seorang teman yanga menemaninya. Ia lalu berjalan menuju ke arahku. Menatapku lalu tersenyum. Mata kami saling berpandangan satu sama lain. Ia melihatku dengan tatapan menusuk. Oh… betapa indahnya mata itu.
Ia membuka cendelanya dan tersenyum melihatku,
“oh… kau menatapku sejak tadi… apa yang kau lakukan?” tanyanya sambil menyentuh pipiku.
Ia sungguh berbeda dengan yang lainnya. tangannya yang lembut menyentuh pipiku lalu ia memelukku dengan eratnya. Dan tubuh itu mengijinkan aku memasuki kamarnya. kamar yang berbau obat-obatan. Rasanya sanggat berbeda sekali dengan pasien yang lainnya. kami memakai pakaian yang senada. Putih-putih semuanya serba putih. Pakaianku dan pakaiannya juga putih. Ia mempersilahkan aku duduk di sofa yang empuk dan memberiku kue spon keju yang lembut,
“makanlah…. Kau akan sangat menyukainya.” Katanya dengan lembut sambil menyerahkan sepotong kue itu di dekatku.
“terima kasih.” kataku dalam hati.
“tak perlu sungkan….” Katanya. Ia tahu apa yang aku katakan meski aku tak mengatakan kalimat itu. ia tahu apa yang ada di hatiku rupanya. Benar-benar Maria dewi cintaku.
“siapa namamu? Bagaimana kalau Prince? Aku suka nama itu. ”
Aku hanya mengangguk, padahal sebelumnya yang lainnya memanggilku dengan si meong.
“kau sungguh manis Prince… apakah kau sendirian disini?”
“aku sendirian Maria sayangku.” Kataku lagi dalam hati.
“kita sama Ya… selalu sendirian. Mamaku selalu kerja dan papaku jarang pulang lalu adikku selalu sibuk dengan bolanya, tapi aku menyanyangi mereka, ingin sekali aku menjaganya sepanjang umurku, jika itu mungkin tentunya. Ya… mungkin ini takdir kita Prince, sendirian….” Ia melamun sejenak, menghilangkan gambaran kesedihannya. Lalu ia menatapku dengan mata yang berbinar.
“maukah kau jadi temanku Prince?”
Aku hanya mengangguk pelan sambil menatapnya. Ia lalu tersenyum dan mencium keningku dengan penuh cinta.
Maria… oh… Maria cintaku, setiap detik aku memikirkanmu. Membayangkanmu dan juga aku ingin selalu bersamamu. Aku hanya selalu berdiri di depan cendelanya saat ia terlelap. Aku diam-diam menatapnya. Melihat Mariaku yang tertidur. Esok paginya aku yakin seiring matahari bersinar menyajikan kehangatannya ia juga akan bangun lagi. Maria sebagai seseorang yang mistis dan magis yang sungguh mengairahkan. Sejak pertemuan itu seakan aku tersihir. Ia memelukku dengan erat ketika ia berjumpa denganku untuk pertama kalinya. tangannya begitu lembut saat membelai kepalaku. Aku jatuh hati dengannya untuk pertama kalinya. kehangatan pelukan itu dan sentuhan lembut itu masih terasa hingga sekarang, apalagi ciumannya yang melambungkan anganku. Rasanya seperti mimpi bagiku.
Dia membawaku memasuki dunianya dan kami sering bertemu di taman. Aku yang tetap diam saat menatap betapa indahnya ia. Dia akan menatapku. Mariaku…oh… Mariaku kaulah mentariku. Aku sungguh mencintaimu….
Dia datang sore ini. ia tersenyum melihatku dan langsung duduk di dekatku. Matanya yang bersinar menatapku. Saat itu aku melihatnya dengan seksama. Menatap wajahnya yang bersinar karena pantulan sinar matahari. Ia menatapku lalu tersenyum bulan sabit dan berkata,
“hai Prince apa yang kau lakukan Prince?”
Aku hanya terdiam dan aku berpikir dalam hati, apa yang akan aku lakukan dengan rumput yang ada di mulutku. Oh… aku sungguh Nampak bodoh dan juga tolol.
“apakah kau ingin mencoba menjadi vegetarian?” tanyanya lagi sambil membersihkan tubuhku dari daun kering dan rumput.
Aku hanya menggeleng pelan sambil memanjakan diriku dengan melingkari tubuhnya dengan tubuhku.
“oh… Prince kau membuatku geli.”
“benarkah?” tanyaku dalam hati.
“tentu aku senang dengan apa yang kau lakukan.” Dia menatap mataku lalu kami saling berpandangan.
“aku menyukaimu Prince.”
Oh… Maria jangan kau katakan itu lagi. Kalimat itu sungguh menusuk jantungku.
“apakah kau menyukaiku, Prince?” tanyanya lagi
Aku hanya menggaguk malu. Lalu aku menatapnya lagi, wajahnya yang berbinar dan senyuman kebahagiaan itu menghiasi wajahnya. Aku sungguh jatuh hati padanya.
“kau memang lelaki sejati.” Katanya.
Oh… selama kelahiranku hingga kini tak ada mahluk sepertinya yang mengatakan aku tampan apalagi mengatakan kalau aku adalah lelaki sejati. Aku sungguh tersanjung dengan apa yang ia katakan. Kata-kata yang mengangkatku dari ketiadaan jati diri menjadi mahluk yang paling sempurna.
“Mariaku tentu saja aku akan selalu menjagamu, menyanyangimu dan mencintaimu.” Kataku dalam hati.
“aku tahu kau mencintaiku.” Dia menatapku dan tersenyum, “ aku juga mencintaimu Prince. Cintailah aku selamanya… aku mencintaimu Prince jangan kau tinggalkan aku.”
Ia lalu memberikan aku roti kesukaanku. aku langsung memakannya Karena aku sangat suka roti-roti yang ia bawa. Kami makan bersama sambil menikmati angin sore yang sepoi-sepoi. Jauh dari keramaian dan tak ada yang menyentuh kami. kami sungguh menikmati sore hari yang indah. Langit mulai menghiasi warna biru itu menjadi keemasan dan matahari mulai berpamitan dengan kami. aku menatapnya dengan keteduhan, lalu ia juga menatapku. Kami saling jatuh cinta dengan saksi langit dan juga bumi,
“Prince andai kau laki-laki aku ingin sekali kau membawakan bunga gardenia putih untukku. Aku suka bunga itu dan alangkah aku senang jika kau yang membawakannya.”
“Pasti aku bawakan sayang, apapun yang kau minta.”
Malam harinya aku berkeliling di sekitar taman. Aku takut di luar taman karena dunia itu sangat asing bagiku. Aku tak mendapati bunga itu tumbuh di taman kota Jakarta yang panasnya minta ampun. Aku hampir putus asah namun saat aku melintasi kamar Maria semangat itu tumbuh lagi. Aku menatapnya yang tertidur, terlelap begitu dalam dan begitu cantik. Tangan Tuhan memang sunguh sempurna saat menciptakannya. Seperti putri tidur dan alangkah bahagianya aku menjadi yang ia cintai.
Aku lalu mendapatkan ide. Aku berjalan menelusuri sekeliling rumah sakit. Menatap dari satu cendela kecendela lainnya. dari satu lorong ke lorong lainnya dan dari satu kamar ke kamar lainnya aku telusuri. Aku tak menemukan bunga itu. aku sungguh ingin membawakan bunga itu dan menghadiahkannya padanya. aku ingin saat ia membuka matanya dan ia dapati setangkai bunga gardenia di dekat cendela ia akan tersenyum. Ia akan bahagia dan aku suka ketika ia bahagia. Aku duduk terdiam dengan lesuh di bangku taman. Aku tak bersemangat lagi. Aku tenggelam di dalam emosiku, aku ingin seperti mereka yang bebas mencarikan apa yang kita mau dan melakukan banyak hal. Aku ingin menjadi mahluk yang disebut mahluk lainnya manusia. Aku iri dengan mereka yang bisa berbicara, berjalan, berlari, berbelanja dan memetik bunga atau menanam bunga.
“Ijinkanlah aku melakukannya Tuhanku, karena hanya itu yang ia minta dariku. Setangkai gardenia yang ia mau…”
Fajar perlahan menyingsing dan aku semakin malu pada diriku yang tak mampu melakukan satu-satunya permintaan Maria. Aku ingin sekali melakukannya. Meski aku hanya seekor kucing setidaknya aku ingin melakukannya pada cintaku. Tuhan rupanya mengabulkan apa yang aku minta. Aku melihat salah seorang laki-laki setengah baya bersama seorang anak kecil membawa seikat gardenia dan menaruhnya di dekatku. Laki-laki itu sedang berbincang-bincang dengan bocah munggil itu.
“jangan tunjukan wajah sedihmu pada kakakmu, ia akan bersedih melihatmu.”
“baik.. papa…” katanya.
“kakakmu sedang sakit leokimia, jangan katakan kalau dokter sudah angkat tangan. Jika ia Tanya katakan kalau ia baik-baik saja. Karena hanya sebatas itu yang mampu kita lakukan, mengiringi hari-hari terakhirnya.”
‘”iya papa… akan aku lakukan. Semoga saja kita masih memiliki waktu itu.”
“iya, Nak.” Kata papanya sambil mengelus ubun-ubun anak itu.
Aku berjalan pelan-pelan mendekati rangkaian bunga itu. mataku yang hanya tertuju padanya. aku semakin tergugah ingin memilikinya untuk Mariaku. Keduanya tak memperhatikanku karena baginya mana ada kucing yang mencuri bunga. Aku mengunakan instingku untuk mengambilnya. Wuusss… aku mengambil seikat bunga itu dan lari sekencang mungkin. Cukup berat sekali aku membawanya. Hanya berjarak dua meter aku sudah tak kuat lagi membawanya. Aku langsung berbalik dan ingin mengambil hanya satu tangkai bunga gardenia itu. aku mengoyak rangkaian bunga berbungkus pita merah mudah itu. secara tak sengaja aku merontokan sebagian besar mahkota bunganya.
Lelaki setengah baya itu mendekatiku.
“sayang sekali bunganya rusak…”
Lelaki itu menatapku dan sambil jongkok ia melihatku, lalu tersenyum.
“tak apa… mungkin anakku tak mempermasalahkannya. Apa yang akan kau lakukan dengan bunga itu kucing?”
“meoongg.” Kataku padanya.
“bermainlah dengan bunga itu.” katanya sambil meninggalkanku.
Bocah laki-laki itu menatapku lalu tersenyum mengikuti langkah papanya. Aku lalu kembali mengoyak pita merah muda itu. karena aku tahu saat pita merah muda itu terbuka aku akan dengan muda mengambil setangkai bunga kesukaan Maria. Aku berusaha melakukannya dengan sekuat tenanga, berbalik, berguling, menggigitnya dan alhasil aku berhasil. Pita itu terbuka aku langsung memilih bunga gardenia yang masih sempurna. Hanya setangkai, mungkin Tuhan sengaja menyisahkannya untukku. Aku berlari kencang dengan menaruh tangkai bunga itu di mulutku. Aku tahu kalau aku terlambat menaruh bunga ini, namun setidaknya lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Tak ada kata terlambat untuk cinta. Aku berlari dan membayangkan betapa senangnya Maria saat ia tahu apa yang aku lakukan untuknya.
Aku menaiki sebuah pot seperti biasanya, lalu berdiri di ambang pintu. Alangkah terkejutnya kau saat kau mendapati sebuah kejadian yang tak pernah kau bayangkan. Sebuah kejadian yang akan menorehkan kesedihan sangat dalam hingga kau sudah tak mau lagi hidup. Aku menatapnya, menatap ranjang maria dan banyak sekali yang mengelilinginya. Seorang dokter, empat perawat, mama, bocah munggil tadi dan papanya. Mungkinkah mereka mama, papa dan juga adik Maria yang pernah ia ceritakan padaku? papa dan mamanya saling berpelukan dan menangis terseduh-seduh. Lalu adiknya hanya terdiam tak tahu harus bagaimana. Matanya nanar dan ingin sekali ia tak mempercayainya. Aku semakin kebingungan. Ingin sekali aku menerobos cendela yang berlapis kaca. Aku sudah mendorongnya berkali-kali namun tak bisa. Terlalu kuat dan terkunci.
Aku melihat tangan dokter menutupi Maria…dewi cintaku dengan selimut putih yang biasa menyelimuti tidurnya. Aku tahu kini, kalau Maria telah pergi untuk selamanya sama seperti pasien yang lainnya. kenapa harus Maria? Kenapa bukan pasien yang lain… atau mungkin aku saya yang mengantikannya. Aku melongo dan bunga itu terjatuh. Rasanya matahari tiba-tiba menghilang dan hari yang cerah itu juga berubah menjadi mendung dengan tiba-tiba.
Kucing juga mahluk yang bisa menangis dan juga patah hati. Terasa Tuhan tak adil padaku dan terasa Tuhan mengambil satu-satunya kebahagiaanku. Aku memungut bunga gardenia yang terjatuh lalu menaruh setangkai bunga gardenia itu di ambang cendela dan meninggalkan kamar itu dengan lemas dan tak bernyawa. Kesedihan menyelimuti buluku dan juga hatiku.
Setengah hati aku menjalani hari-hariku. Aku sudah tak lagi menginginkan hidupku, tak langi ingin tahu apakah matahari bersinar, berapa jumlah bintang di langit dan apa yang dilakukan bulan malam harinya. Aku hilang walau aku ada, dan hari-hariku bagai sekam dan juga duri. Tiada lagi kebahagiaan dan tak tahu berapa hari yang aku lewatkan. Hatiku semakin bersedih ketika aku melintasi kamaranya dengan ranjang yang kosong dan dengan memory yang begitu kuat.
Suatu ketika di sore yang sunyi terdengar suara boca laki-laki yang memanggil mamanya. Ia menatapku dengan mata yang sama dan juga senyuman yang aku kenal. Aha.. ia adalah bocah kecil itu namun itu tak meningkatkan emosiku.
“mama…mama… ini kucing yang membawa bunga itu.” katanya sambil berlari mendekatiku.
Mamanya datang dan menatapku dengan seksama.
“oh… ini kucing yang waktu itu.” ia mulai mengingatnya, “ ya.. ini kucing yang waktu itu. lihat pa… ini kucing yang Maria ceritakan pada kita.”
Laki-laki setengah baya itu mendekat juga. Ketiga menatapku setelah sekian lama aku tak mendapatkan tatapan sayang itu. mukaku memerah karena malu namun kesedihanku masih sama. bocah itu mengendong dan papanya mengelus kepalaku.
“namamu Prince kan? kau akan jadi anggota keluarga kami yang baru. maria menitipkanmu pada kami…” kata mamanya.
“meong…”
“kau sungguh sangat manis dan juga tampan. Apakah kau bersedih karena Maria putriku meninggalkan kau?” kata papanya sambil mengambilku dari rangkulan anak kecil itu.
“meongg..”
“jangan bersedih.. dia pergi dengan senyuman yang indah. Dia ingin kan menjadi bagian dari kami. kami akan menyanyangimu sama seperti kami menyanyangi Maria. Terima kasih karena kau terus menemani Maria di rumah sakit. Meski kau hanya seekor kucing namun aku tahu kasihmu mengalahkan kasih kami pada maria.” Kata mamanya.
Maria… oh… dewi cintaku lupanya benar-benar mencintaiku. Ia menjadikan aku wasiatnya, ia meminta keluarganya merawatku agar aku memiliki keluarga dan tak di telantarkan lagi. Oh… sungguh baiknya Maria. Terima kasih Maria kau berikan aku cinta dan kini kau beikan aku keluarga. Aku akan menjaga mereka seperti mimpimu. Aku akan menjaga mereka sampai akhir hayatku sama seperti yang kau katakan saat kita berjumpa kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar